Memasuki masa menjadi manusia lanjut usia (lansia), frekuensi tidur yang semakin berkurang mungkin merupakan gejala yang biasa. Hanya saja, sulit tidur seiring timbulnya gangguan motorik halus, tentu patut diwaspadai sebagai gejala penyakit parkinson. Timbul tanda-tanda tremor, jalan menjadi lambat, tubuh terasa kaku, wajah seperti topeng (facial masking), sulit menelan, hingga terasa adanya gangguan saat berbicara, maka bisa di— pastikan telah mengalami serangan parkinson. Menurut dr. F. Yudiarta, Sp.S, manifestasinya sangat bervariasi, mulai dari tremor ringan hingga disability berat pada stadium akhir penyakit Diagnosa dan penatalaksanaan secepatnya pada alzheimer dan parkinson akan membantu penderita (lansia) tidak menjadi terlalu bergantung pada orang lain (care giver).
“Pada pasien parkinson, keluhan awal yang nonspesifik dapat berupa kaku di seluruh tubuh, nyeri atau paraesthesi pada anggota gerak tubuh, konstipasi, sulit tidur, dan volume suara yang berkurang,” ungkap dokter spesialis syaraf yang berpraktik di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading Ini.
Keluhan yang lebih spesifik timbul seiring progesifitas penyakit parkinson, biasanya berupa gangguan gerak motor halus, penurunan penciuman, hilang nafsu makan, dan timbul tremor saat mengalami kecemasan. Saat berjalan, ayunan tangan pada sisi tubuh yang terkena akan berkurang. Ekspresi emosi menurun, serta terjadi gangguan personalitas. Memang, usia penderita parkinson disease umumnya adalah mereka yang berusia di atas 55 tahun. Meski begitu, parkinson disesase bisa saja menyerang dewasa muda. “Penyakit ini memiliki rentang usia antara 20 – 80 tahun,” timpal dr. Daniel Polhaupessy, Sp.S. Berbeda dengan penyakit alzheimer yang umumnya terjadi pada lansia di atas 65 tahun.
Memicu Disability
“Alzheimer, merupakan salah satu jenis penyakit dengan demensia terbanyak. Terjadi gangguan memori yang menonjol, mulai dengan derajat ringan (masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari) sampai derajat berat. Bahkan, tidak dapat berkomunikasi karena gangguan kognitif berat,” jelas dokter spesialis syaraf yang berpraktik di RS Mitra Keluarga Bekasi Timur. Yang pasti, baik parkinson atau alzheimer, sama-sama memiliki kecenderungan pada penurunan fungsi-fungsi tubuh. Dampaknya sama-sama mengakibatkan disability, sehingga penderita memerlukan bantuan orang lain pada aktifitas sehari-hari. Perbedaannya, parkinson disease merupakan gangguan pada fungsi motorik, sedangkan alzheimer lebih kepada fungsi luhur.
“Alzheimer merupakan jenis demensia yang irreversible. Parkinson disease degeneratif pada neuron dopaminergic,” sebutnya, seraya menambahkan, kematian pada penderita alzheimer, umumnya terjadi karena bermacam sebab, seperti kekurangan asupan gizi (makanan) dan komplikasi dengan penyakit geriatrik lain. “Pada parkinson disease terdapat gangguan postural reflex, sehingga mudah terjatuh yang dapat menimbulkan trauma. Bahkan, tidak jarang penderita parkinson pada usia lanjut yang mengalami fraktur,” kata dr. Yudiarta, yang juga mengatakan bahwa tak jauh berbeda dengan alzheimer, parkinson disease juga tidak menimbulkan kematian secara langsung. “Terjadi secara tidak langsung. Bisa karena trauma (kepala), imobile, atau terkena infeksi berulang-ulang, sehingga mengakibatkan kematian,” imbuhnya. Faktor Pencetus
Pencetus Alzheimer diduga berkaitan dengan genetik. Relatif sangat berhubungan dengan cedera kepala, down syndrome derajat ringan. Sementara, pencetus parkinson biasanya berupa degenerasi dari subtantia nigra dimana terjadi kehilangan neuron dopaminergic dan penurunan isi dopamik dalam striatum ± 80% dari normal. Namun, selain dipengaruhi oleh faktor genetik, parkinson disease juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Beberapa faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan kejadian parkinson, diantaranya adalah industrialisasi, penggunaan agrochemical, logam berat, trauma kepala dan anesthesi umum. “Jadi selain faktor genetik, orang-orang yang berpeluang terkena parkinson adalah mereka yang sering terpapar oleh faktor risiko tersebut,” jelas dr. Yudiarta. Persoalannya, kedua penyakit ini belum dapat disembuhkan. Pengobatan yang dilakukan hanyalah bersifat supportif saja. “Untuk mempertahankan agar penderita tetap fungsional, dan independen selama mungkin. Tetap aktif dan mobile,” ungkap dr. Daniel.
Bahkan, tidak ada cara yang spesifik untuk memperkecil terjadinya penyakit ini (alzheimer dan parkinson). Kalaupun ada, hanyalah berusaha menghindar dari faktor risiko yang sebelumnya telah dibahas, dan pemberian antiradikal bebas untuk menghambat penumpukan dari radikal bebas yang dapat mengganggu sistem syaraf dopaminergik.
Pastinya, penyakit yang banyak menyerang lansia ini harus bisa dideteksi dan memperoleh diagnosa sedini mungkin. Jika timbul gejala, penderita harus segera berobat secara teratur untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan tingkatan penyakitnya. Karena, hanya dengan mengatasi gejala-gejala penyakit secara akurat dan terapi yang tepat, diharapkan dapat mengurangi keterbatasan dan ketergantungan penderita terhadap orang lain (keluarga atau care giver).
“Pada pasien parkinson, keluhan awal yang nonspesifik dapat berupa kaku di seluruh tubuh, nyeri atau paraesthesi pada anggota gerak tubuh, konstipasi, sulit tidur, dan volume suara yang berkurang,” ungkap dokter spesialis syaraf yang berpraktik di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading Ini.
Keluhan yang lebih spesifik timbul seiring progesifitas penyakit parkinson, biasanya berupa gangguan gerak motor halus, penurunan penciuman, hilang nafsu makan, dan timbul tremor saat mengalami kecemasan. Saat berjalan, ayunan tangan pada sisi tubuh yang terkena akan berkurang. Ekspresi emosi menurun, serta terjadi gangguan personalitas. Memang, usia penderita parkinson disease umumnya adalah mereka yang berusia di atas 55 tahun. Meski begitu, parkinson disesase bisa saja menyerang dewasa muda. “Penyakit ini memiliki rentang usia antara 20 – 80 tahun,” timpal dr. Daniel Polhaupessy, Sp.S. Berbeda dengan penyakit alzheimer yang umumnya terjadi pada lansia di atas 65 tahun.
Memicu Disability
“Alzheimer, merupakan salah satu jenis penyakit dengan demensia terbanyak. Terjadi gangguan memori yang menonjol, mulai dengan derajat ringan (masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari) sampai derajat berat. Bahkan, tidak dapat berkomunikasi karena gangguan kognitif berat,” jelas dokter spesialis syaraf yang berpraktik di RS Mitra Keluarga Bekasi Timur. Yang pasti, baik parkinson atau alzheimer, sama-sama memiliki kecenderungan pada penurunan fungsi-fungsi tubuh. Dampaknya sama-sama mengakibatkan disability, sehingga penderita memerlukan bantuan orang lain pada aktifitas sehari-hari. Perbedaannya, parkinson disease merupakan gangguan pada fungsi motorik, sedangkan alzheimer lebih kepada fungsi luhur.
“Alzheimer merupakan jenis demensia yang irreversible. Parkinson disease degeneratif pada neuron dopaminergic,” sebutnya, seraya menambahkan, kematian pada penderita alzheimer, umumnya terjadi karena bermacam sebab, seperti kekurangan asupan gizi (makanan) dan komplikasi dengan penyakit geriatrik lain. “Pada parkinson disease terdapat gangguan postural reflex, sehingga mudah terjatuh yang dapat menimbulkan trauma. Bahkan, tidak jarang penderita parkinson pada usia lanjut yang mengalami fraktur,” kata dr. Yudiarta, yang juga mengatakan bahwa tak jauh berbeda dengan alzheimer, parkinson disease juga tidak menimbulkan kematian secara langsung. “Terjadi secara tidak langsung. Bisa karena trauma (kepala), imobile, atau terkena infeksi berulang-ulang, sehingga mengakibatkan kematian,” imbuhnya. Faktor Pencetus
Pencetus Alzheimer diduga berkaitan dengan genetik. Relatif sangat berhubungan dengan cedera kepala, down syndrome derajat ringan. Sementara, pencetus parkinson biasanya berupa degenerasi dari subtantia nigra dimana terjadi kehilangan neuron dopaminergic dan penurunan isi dopamik dalam striatum ± 80% dari normal. Namun, selain dipengaruhi oleh faktor genetik, parkinson disease juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Beberapa faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan kejadian parkinson, diantaranya adalah industrialisasi, penggunaan agrochemical, logam berat, trauma kepala dan anesthesi umum. “Jadi selain faktor genetik, orang-orang yang berpeluang terkena parkinson adalah mereka yang sering terpapar oleh faktor risiko tersebut,” jelas dr. Yudiarta. Persoalannya, kedua penyakit ini belum dapat disembuhkan. Pengobatan yang dilakukan hanyalah bersifat supportif saja. “Untuk mempertahankan agar penderita tetap fungsional, dan independen selama mungkin. Tetap aktif dan mobile,” ungkap dr. Daniel.
Bahkan, tidak ada cara yang spesifik untuk memperkecil terjadinya penyakit ini (alzheimer dan parkinson). Kalaupun ada, hanyalah berusaha menghindar dari faktor risiko yang sebelumnya telah dibahas, dan pemberian antiradikal bebas untuk menghambat penumpukan dari radikal bebas yang dapat mengganggu sistem syaraf dopaminergik.
Pastinya, penyakit yang banyak menyerang lansia ini harus bisa dideteksi dan memperoleh diagnosa sedini mungkin. Jika timbul gejala, penderita harus segera berobat secara teratur untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan tingkatan penyakitnya. Karena, hanya dengan mengatasi gejala-gejala penyakit secara akurat dan terapi yang tepat, diharapkan dapat mengurangi keterbatasan dan ketergantungan penderita terhadap orang lain (keluarga atau care giver).
sumber:Majalah RS Mitra Keluarga
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih sudah meluangkan waktu anda untuk memberikan komentar :)