BPH dan Prolaps Uterus adalah penyakit degeneratif pada manusia lanjut usia (lansia). Kasus dengan gejala dan tanda yang ringan bisa diperbaiki melalui terapi obatmedikamentosa. Pada kasus berat disembuhkan melalui prosedur operatif.
Terdapat banyak perubahan fisik dan psikis maupun metabolik pada saat manusia memasuki masa lanjut usia (lansia), atau kisaran 55 tahun ke atas. Mulai dari perubahan yang terjadi di tingkat sel, jaringan sampai organ tubuh, hingga menurunnya metabolisme sehingga rentan terhadap penyakit, terutama penyakit degeneratif.
Salah satu masalah kesehatan yang sering terlihat pada lansia adalah dimulainya “ kebiasaan”, beser – buang air kecil (BAK)-
- secara tanpa disadari. “Beser pada lansia laki-laki biasanya terjadi karena adanya pembesaran prostat jinak (BPH- benign prostate hyperplasia),“ kata dr. Yulfitra Soni Sp.U. Secara sederhana, jelas dokter spesialis urologi di RSMK Cibubur ini, BPH merupakan keadaan pembesaran prostat jinak yang sering muncul dengan beberapa gejala gangguan berkemih seperti; mengedan, menunggu sebelum berkemih, tidak lampias dan menetes setelah berkemih, pancaran kencing melemah, nyeri dan sering berkemih siang maupun malam. Penanganan BPH Kasus kematian memang jarang terjadi. Kalaupun ada, biasanya akibat komplikasi infeksi yang sangat berat (sepsis) pada sistem ginjal dan saluran kemih. Atau, akibat komplikasi sekender lainnya pada gangguan fungsi ginjal.
Pilihan terapi pada BPH disesuaikan dengan tingkat keluhan. Keluhan ringan biasanya cukup diamati dengan merubah pola minum untuk tidak berlebihan (cukup 1.5 - 2 liter per hari). Untuk keluhan ringan-sedang digunakan terapi obat. “Tujuannya untuk merelaksasi otot-otot leher kandung kemih, atau untuk mengerutkan jaringan kelenjar,” ujarnya. Pada keluhan berat dipilih prosedur pembedahan. “Biasanya direkomendasikan pada kasus gagal terapi medikamentosa (pengobatan), akut retensi berulang dan BPH, atau gangguan gejala berat disertai komplikasi,” paparnya. Beberapa komplikasi pada BPH, kata dr. Soni, diantaranya adalah yang disebut dengan Retensi Urine Akut--ketidakmampuan untuk melakukan proses berkemih secara tiba-tiba, disertai rasa sakit atau distensi perut bawah. Infeksi Saluran Kemih, tertahannya urine -waktu transit urine yang lama akibat ketidakmampuan dalam mengosongkan kandung kemih yang berlangsung lama. Batu Kandung Kemih, merupakan tumpukan mineral membentuk batu yang timbul akibat infeksi saluran kemih, atau akibat ketidakmampuan dalam mengosongkan kandung kemih yang berlangsung lama.
Terakhir, Kerusakan Kandung Kemih, juga merupakan gangguan pengosongan kandung kemih kronis yang berlangsung lama dan terus menerus dapat menimbulkan kerusakan ginjal (pembengkakan ginjal = hidronefrosis).
Dalam banyak kasus di beberapa negara dengan prevalensi BPH tinggi, komplikasi jarang ditemukan. Sebaliknya, di Indonesia banyak ditemukan kasus-kasus BPH dengan komplikasi. “Retensi urine akut sering ditemukan pada pasien BPH yang menggunakan obat-obatan dekongestan untuk alergi atau pilek. Pada lansia yang tidak bisa berkemih dengan keadaan kandung kemih terisi penuh, segeralah minta pertologan petugas medis atau dokter untuk melakukan pemasangan tube dari uretra ke kandung kemih (kateter uretra) atau pemasangan tubing perkutan pada posisi perut bawah (sistostomi),” jelasnya.
Prolaps Genitalis
Berbeda dengan penyakit degeneratif seperti BPH yang menyerang lansia laki-laki, prolaps uteri adalah suatu keadaan turunnya rahim akibat kelemahan jaringan penyangga/otot dasar panggul.
“Prolaps uteri, sering ditemui pada wanita dengan riwayat banyak persalinan yang menimbulkan trauma berulang pada otot-otot dan penunjang dasar panggul. Saat mencapai lansia, jaringan penunjang tersebut mengalami keadaan degeneratif dan tidak kuat menopang sistem organ di atasnya, seperti rahim maupun kandung kemih,” jelas dr. Soni.
Ya, organ-organ pelvik wanita ditunjang oleh kompleksitas jalinan otot-otot (levator), fasia (diafragma urogenital, fasia endopelvik) dan beberapa ligamen. “Kerusakan pada salah satu struktur ini berpotensi menimbulkan kelemahan atau hilangnya penunjang pelvis dan organ pelvik,” timpal dr. L. Meilina Pudjiastuti, Sp.OG.
Menurut dokter praktik di RSMK Bekasi ini, kerusakan pada dinding anterior vagina dapat menyebabkan herniasi kandung kencing (sistokel) atau urethra (uretrokel) ke rongga vagina. Trauma pada fasia endo pelvik septum rektovagina dapat mengakibatkan herniasi rektum (rektokel), atau usus halus (enterokel) ke rongga vagina. Trauma atau regangan pada ligamentum kardinale dan struktur penunjang pelvik lain dapat menyebabkan terjadinya penurunan uterus (Prolapsus Uteri).
Pasca histerektomi, beberapa wanita mengalami prolapsus vagina dikarenakan hilangnya struktur penunjang pelvik akibat operasi. “Itu sebabnya, prolapsus genitalis juga bisa disebut sebagai hernia,” ucapnya.
Terjadinya prolapsus genitalis juga meningkat pada lansia wanita yang mengalami penurunan kadar hormon estrogen dan jaringan yang menjadi kendur seiring bertambahnya usia. Begitu pula dengan wanita yang mengalami peningkatan tekanan intraabdominal kronik akibat batuk menahun, mengejan, asites, dan adanya tumor pelvik yang besar.
Penanganan
Prolapsus genitalis disebabkan oleh adanya kelemahan pada jaringan penunjang pelvis, sehingga penanganannya ditujukan untuk memperkuat jaringan-jaringan tersebut. Pada wanita pascamenopause, pemberian hormon estrogen, baik sistemik maupun vaginal dapat meningkatkan tonus jaringan dan memperbaiki kondisi atropik mukosa vagina. Pada pasien yang kooperatif, dapat diajarkan latihan Kegel, untuk menguatkan otot pelvik. Latihan ini meliput pengencangan dan pengenduran otot-otot pubokoksigeus secara berulang sepanjang hari.
Penggunaan pesarium vagina diindikasikan bagi pasien yang mengalami gejala berat, tetapi memiliki kontraindikasi operasi. Pesarium ini ditempatkan pada vagina untuk menahan organ pelvik di posisi normal. Hanya saja, kata dr. Meilina, penggunaan pesarium memerlukan kontrol yang baik untuk menjaga posisi dan kebersihannya.
Pasien yang merasakan gejala mengganggu dan tidak terbantu dengan cara nonoperatif, biasanya memerlukan penanganan operatif. Pada umumnya penanganan operatif memberikan hasil yang baik. Pembedahan untuk memperbaiki sistokel dan rektokel adalah kolporafi anterior dan posterior. Prosedur ini memperbaiki defekfasia di tempat herniasi terjadi dan memperkuat jaringan penunjang. Enterokel diperbaiki dengan melakukan ligasi kantong hernia.
“Hanya memang, kesuksesan tindakan operatif, sangat ditentukan oleh ketrampilan ahli bedah, derajat prolapsus genitalis, usia, berat badan, dan pola hidup pasien,” ungkapnya.
Terdapat banyak perubahan fisik dan psikis maupun metabolik pada saat manusia memasuki masa lanjut usia (lansia), atau kisaran 55 tahun ke atas. Mulai dari perubahan yang terjadi di tingkat sel, jaringan sampai organ tubuh, hingga menurunnya metabolisme sehingga rentan terhadap penyakit, terutama penyakit degeneratif.
Salah satu masalah kesehatan yang sering terlihat pada lansia adalah dimulainya “ kebiasaan”, beser – buang air kecil (BAK)-
- secara tanpa disadari. “Beser pada lansia laki-laki biasanya terjadi karena adanya pembesaran prostat jinak (BPH- benign prostate hyperplasia),“ kata dr. Yulfitra Soni Sp.U. Secara sederhana, jelas dokter spesialis urologi di RSMK Cibubur ini, BPH merupakan keadaan pembesaran prostat jinak yang sering muncul dengan beberapa gejala gangguan berkemih seperti; mengedan, menunggu sebelum berkemih, tidak lampias dan menetes setelah berkemih, pancaran kencing melemah, nyeri dan sering berkemih siang maupun malam. Penanganan BPH Kasus kematian memang jarang terjadi. Kalaupun ada, biasanya akibat komplikasi infeksi yang sangat berat (sepsis) pada sistem ginjal dan saluran kemih. Atau, akibat komplikasi sekender lainnya pada gangguan fungsi ginjal.
Pilihan terapi pada BPH disesuaikan dengan tingkat keluhan. Keluhan ringan biasanya cukup diamati dengan merubah pola minum untuk tidak berlebihan (cukup 1.5 - 2 liter per hari). Untuk keluhan ringan-sedang digunakan terapi obat. “Tujuannya untuk merelaksasi otot-otot leher kandung kemih, atau untuk mengerutkan jaringan kelenjar,” ujarnya. Pada keluhan berat dipilih prosedur pembedahan. “Biasanya direkomendasikan pada kasus gagal terapi medikamentosa (pengobatan), akut retensi berulang dan BPH, atau gangguan gejala berat disertai komplikasi,” paparnya. Beberapa komplikasi pada BPH, kata dr. Soni, diantaranya adalah yang disebut dengan Retensi Urine Akut--ketidakmampuan untuk melakukan proses berkemih secara tiba-tiba, disertai rasa sakit atau distensi perut bawah. Infeksi Saluran Kemih, tertahannya urine -waktu transit urine yang lama akibat ketidakmampuan dalam mengosongkan kandung kemih yang berlangsung lama. Batu Kandung Kemih, merupakan tumpukan mineral membentuk batu yang timbul akibat infeksi saluran kemih, atau akibat ketidakmampuan dalam mengosongkan kandung kemih yang berlangsung lama.
Terakhir, Kerusakan Kandung Kemih, juga merupakan gangguan pengosongan kandung kemih kronis yang berlangsung lama dan terus menerus dapat menimbulkan kerusakan ginjal (pembengkakan ginjal = hidronefrosis).
Dalam banyak kasus di beberapa negara dengan prevalensi BPH tinggi, komplikasi jarang ditemukan. Sebaliknya, di Indonesia banyak ditemukan kasus-kasus BPH dengan komplikasi. “Retensi urine akut sering ditemukan pada pasien BPH yang menggunakan obat-obatan dekongestan untuk alergi atau pilek. Pada lansia yang tidak bisa berkemih dengan keadaan kandung kemih terisi penuh, segeralah minta pertologan petugas medis atau dokter untuk melakukan pemasangan tube dari uretra ke kandung kemih (kateter uretra) atau pemasangan tubing perkutan pada posisi perut bawah (sistostomi),” jelasnya.
Prolaps Genitalis
Berbeda dengan penyakit degeneratif seperti BPH yang menyerang lansia laki-laki, prolaps uteri adalah suatu keadaan turunnya rahim akibat kelemahan jaringan penyangga/otot dasar panggul.
“Prolaps uteri, sering ditemui pada wanita dengan riwayat banyak persalinan yang menimbulkan trauma berulang pada otot-otot dan penunjang dasar panggul. Saat mencapai lansia, jaringan penunjang tersebut mengalami keadaan degeneratif dan tidak kuat menopang sistem organ di atasnya, seperti rahim maupun kandung kemih,” jelas dr. Soni.
Ya, organ-organ pelvik wanita ditunjang oleh kompleksitas jalinan otot-otot (levator), fasia (diafragma urogenital, fasia endopelvik) dan beberapa ligamen. “Kerusakan pada salah satu struktur ini berpotensi menimbulkan kelemahan atau hilangnya penunjang pelvis dan organ pelvik,” timpal dr. L. Meilina Pudjiastuti, Sp.OG.
Menurut dokter praktik di RSMK Bekasi ini, kerusakan pada dinding anterior vagina dapat menyebabkan herniasi kandung kencing (sistokel) atau urethra (uretrokel) ke rongga vagina. Trauma pada fasia endo pelvik septum rektovagina dapat mengakibatkan herniasi rektum (rektokel), atau usus halus (enterokel) ke rongga vagina. Trauma atau regangan pada ligamentum kardinale dan struktur penunjang pelvik lain dapat menyebabkan terjadinya penurunan uterus (Prolapsus Uteri).
Pasca histerektomi, beberapa wanita mengalami prolapsus vagina dikarenakan hilangnya struktur penunjang pelvik akibat operasi. “Itu sebabnya, prolapsus genitalis juga bisa disebut sebagai hernia,” ucapnya.
Terjadinya prolapsus genitalis juga meningkat pada lansia wanita yang mengalami penurunan kadar hormon estrogen dan jaringan yang menjadi kendur seiring bertambahnya usia. Begitu pula dengan wanita yang mengalami peningkatan tekanan intraabdominal kronik akibat batuk menahun, mengejan, asites, dan adanya tumor pelvik yang besar.
Penanganan
Prolapsus genitalis disebabkan oleh adanya kelemahan pada jaringan penunjang pelvis, sehingga penanganannya ditujukan untuk memperkuat jaringan-jaringan tersebut. Pada wanita pascamenopause, pemberian hormon estrogen, baik sistemik maupun vaginal dapat meningkatkan tonus jaringan dan memperbaiki kondisi atropik mukosa vagina. Pada pasien yang kooperatif, dapat diajarkan latihan Kegel, untuk menguatkan otot pelvik. Latihan ini meliput pengencangan dan pengenduran otot-otot pubokoksigeus secara berulang sepanjang hari.
Penggunaan pesarium vagina diindikasikan bagi pasien yang mengalami gejala berat, tetapi memiliki kontraindikasi operasi. Pesarium ini ditempatkan pada vagina untuk menahan organ pelvik di posisi normal. Hanya saja, kata dr. Meilina, penggunaan pesarium memerlukan kontrol yang baik untuk menjaga posisi dan kebersihannya.
Pasien yang merasakan gejala mengganggu dan tidak terbantu dengan cara nonoperatif, biasanya memerlukan penanganan operatif. Pada umumnya penanganan operatif memberikan hasil yang baik. Pembedahan untuk memperbaiki sistokel dan rektokel adalah kolporafi anterior dan posterior. Prosedur ini memperbaiki defekfasia di tempat herniasi terjadi dan memperkuat jaringan penunjang. Enterokel diperbaiki dengan melakukan ligasi kantong hernia.
“Hanya memang, kesuksesan tindakan operatif, sangat ditentukan oleh ketrampilan ahli bedah, derajat prolapsus genitalis, usia, berat badan, dan pola hidup pasien,” ungkapnya.
sumber : Majalah RS Mitra Keluarga
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih sudah meluangkan waktu anda untuk memberikan komentar :)