Rabu, 31 Desember 2014

Terapi Renal Denervasi : Terapi Baru untuk Menekan Hipertensi Resisten

Renal Denervasi menghadirkan awal baru dalam penanganan hipertensi resisten. Di masa lalu, penanganan hipertensi berat diterapkan melalui tindakan bedah. Saat ini, selain obatobatan, tindakan intervensi non bedah dapat dilakukan untuk mengatasi hipertensi resisten. Tindakan ini dikenal sebagai Terapi Renal Denervasi yang memanfaatkan metode ablasi dengan radio frekuensi.

Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi yang fatal seperti gagal jantung, gagal ginjal, stroke dan seterusnya. Namun, hipertensi atau tekanan darah tinggi sebenarnya merupakan penyakit pembuluh darah. Ketika usia bertambah, sementara gaya hidup yang diterapkan kurang berkompromi dengan kaidah kesehatan, maka bisa dipastikan resistensi (tahanan) pada pembuluh darah akan meningkat sehingga jantung harus bekerja lebih keras dengan meningkatkan tekanan darah.

Salah satu pemicu resistensi tersebut, adalah aktifasi serabut saraf simpatis. Menurut dr. Utojo Lubiantoro, Sp.JP-FIHA, ketika ginjal mengalami sedikit saja gangguan –namun tidak berarti fungsi ginjal memburuk--
maka serabut saraf simpatis di dalam pembuluh darah di ginjal akan mengirim sinyal ke otak yang merupakan sentral saraf simpatis. Lalu otak akan mengirim balik sinyal tersebut terutama ke tiga organ utama yaitu jantung, ginjal, dan pembuluh darah, yang selanjutnya akan memicu peningkatan tekanan darah.

Teknologi Baru
Di masa lalu, sekitar tahun 1950an, dimana belum terdapatnya obat-obatan, pengobatan pada penderita hipertensi yang berat dengan risiko yang tinggi terhadap komplikasi kesehatan jantung, ginjal, mata, hingga stroke, maka akan dilakukan operasi Simpatektomi. Saraf simpatis yang ada pada pembuluh darah ginjal akan dipotong melalui tindakan bedah. Dunia medis saat itu telah mempelajari bahwa salah satu pemicu terjadinya peningkatan tekanan darah adalah saraf simpatis pada pembuluh darah yang ada di organ ginjal. Alhasil, setelah menerapkan simpatektomi, tekanan darah berhasil diturunkan. “Hanya saja, tindakan bedah seperti itu tentu memiliki risiko yang cukup tinggi. Efek sampingnya banyak, salah satunya hipotensi,” kata dr. Utojo.

Perkembangan teknologi medis yang sangat cepat dalam sepuluh tahun terakhir ini telah menemukan teknik baru untuk mengatasi hipertensi yang tidak terkendali ini tanpa melalui tindakan bedah. Teknologi tersebut menggunakan teknik ablasi radio frekuensi, yang kemudian diperkenalkan dengan sebutan Renal Denervasi. “Ya, Renal Denervasi (RDN) atau lebih tepat disebut Symphatetic Renal Denervation adalah suatu metode pengobatan terbaru yang termasuk metode pengobatan intervensi non bedah pada kasus hipertensi resisten (berat dan kebal), dimana dilakukan in-aktifasi saraf simpatis dengan metode ablasi dengan radio frekuensi tertentu dengan menggunakan catheter endovascular khusus,” ujar dr. Faris Basalamah, Sp.JP-FIHA .

Jadi tanpa perlu dibedah, tetapi memanfaatkan gelombang panas yang dihantarkan melalui kateter. Caranya, kateter akan diarahkan ke dalam pembuluh darah ginjal melalui sayatan kecil melewati pembuluh darah paha. Lalu, melalui seutas kawat berujung elektroda yang tersambung dengan generator mentransmisikan energi radio frekuensi ke dinding pembuluh darah ginjal untuk ”memotong” sinyal saraf simpatis (denervasi), sehingga tekanan darah diharapkan dapat turun. “Dengan dilakukan renal denervasi, maka diharapkan bisa memutuskan proses kerusakan target organ yang disebut di atas,” timpal dr. Faris yang berpraktik di RSMK Bekasi Timur dan sudah melakukan tindakan tersebut sejak awal tahun 2013.

“Melalui kateter Ablasi itu akan dihasilkan energi panas yang dapat merusak serabut saraf simpatis. Dengan demikian, saraf simpatis yang ada di pembuluh darah ginjal tidak dapat lagi mengirim sinyal ke otak, sehingga tekanan darah akan turun,” jelas dr. Utojo, seraya menambahkan, tindakan non bedah yang mirip kateterisasi jantung ini hanya perlu waktu sekitar satu jam. Lama perawatan cukup 1-2 hari saja dengan tingkat komplikasi yang sangat rendah.

Hipertensi Resisten
Pertanyaannya kemudian adalah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan hipertensi resisten? Menurut dr. Faris, hipertensi resitensi adalah kondisi dimana tekanan darah tetap berada di atas ambang normal meski telah menerapkan farmakoterapi dengan tiga obat antihipertensi dari golongan yang berbeda. “Resitensinya berat. Kebal. Bandel. Namun, tidak semua hipertensi yang berat dikatakan resisten,” timpal dr. Utojo.

Masih seperti kata dokter spesialis jantung yang berpraktik di Jakarta Heart Vascular Center (JVHC) Rumah Sakit Mitra Keluarga (RSMK) Kelapa Gading ini, disebut hipertensi resisten ialah ketika tekanan darah tinggi tetap lebih dari 160 mmHg, dan tidak kunjung turun setelah melalui terapi pengobatan konvensional. “Kalau tekanan darahnya bisa turun setelah diobati, ya artinya tidak bandel. Tidak masuk ke dalam kategori hipertensi resisten,” sebutnya. Klasifikasi seseorang dikatakan menderita hipertensi, yaitu ketika batas atas ukuran tekanan darah (sistolik) berada pada posisi di atas atau sama dengan 140 mmHg, dan batas bawah (diastolik) posisi di atas atau sama dengan 90 mHg. Cut of pointnya 140/90 mmHg, sebagai indikasi telah menderita hipertensi. Di bawah itu masuk dalam kategori normal (lihat box:Klasifikasi TD).



Prinsipnya begini, target (goals) dari penderita hipertensi adalah mencapai batas normal, 120/80 mmHg. Dengan demikian, hipertensi resisten adalah hipertensi berat yang walaupun sudah diobati dengan dosis yang cukup dan bisa ditoleransi oleh pasien, tetapi tekanan darah tidak kunjung mencapai target. Tidak pernah sampai ke batas normal. Katakanlah, tekanan darahnya tetap di atas 160mmHg, misalnya. Kasus seperti itu lumayan banyak. Terutama pada penderita gagal ginjal. Namun, kasus semacam ini memang terbilang sulit. Karena, jika terapi oral dengan tiga jenis obatnya tidak cukup adekuat. Kombinasinya tidak pas, dan ternyata memiliki efek samping kepada pasien, maka terapi pengobatannya yang gagal. “Jadi, kasus ini tidak termasuk hipertensi resisten. Nah, jika semua terapinya sudah benar, mulai dari pilihan jenis obat, kombinasi, dosisnya optimal, bisa ditoleransi oleh pasien dan tidak menimbulkan efek samping, namun tensi tetap membandel atau tidak juga mau turun, maka pasien tersebut benar menderita hipertensi resisten,” tegasnya.

Pengaruh Lifestyle
Persoalan lainnya, terapi hipertensi itu tidak hanya tergantung pada obat-obatan saja. Kondisi tekanan darah tinggi juga sangat dipengaruhi oleh apa yang disebut lifestyle, yang bisa terindikasi dari berat badan. “Jika body mass indeksnya besar, tensi akan lebih tinggi. Karena jantung akan terpacu untuk memompa lebih berat,” papar dr. Utojo. Jadi, jika penderita mengalami obesitas, harus diturunkan terlebih dahulu. Minimal mendekati batas berat badan ideal sesuai dengan postur tubuhnya. Penderita juga harus menerapkan diet rendah garam, atau konsumsi garam dapur (NHCL) tidak lebih dari 6 gram per hari. Banyak konsumsi sayur dan buah. Rutin olahraga aerobik 30 menit per hari. Stop minum alkohol dan rokok. “Nah, jika terapi obatnya berjalan dengan baik, tapi lifestylenya tidak benar, maka terapi obat-obatan kurang efektif,” ungkapnya. Namun, jika semua prosedur itu (terapi obat dan lifestyle) telah dijalankan dengan benar, namun tensi pasien masih tinggi juga, barulah ia berhak memperoleh terapi Renal Denervasi.

Metode renal denervasi mulai dilakukan pada Juni 2007 di Australia dan Uni-Eropa sebagai pilot study dari metode pengobatan ini. Saat ini, Renal Denervasi telah diterapkan secara global meliputi, Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. “RS Mitra Keluarga Grup, menerapkan prosedur Renal Denervasi sejak pertengahan tahun 2013. Hingga hari ini, hasilnya cukup baik. Kontrol tekanan darah pasien umumnya lebih baik dan jumlah obat yang dikonsumsi pun berkurang,” urai dr. Faris.

dr. Utojo Lubiantoro, Sp.JP-FIHA
dr. Faris Basalamah, Sp.JP-FIHA
(RS Mitra Keluarga)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih sudah meluangkan waktu anda untuk memberikan komentar :)