Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangungjawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, percaya diri dan mampu bertanggungjawab. Rasa percaya diri dan tanggungjawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan nilai dan jati diri positif di kalangan remaja.
Masa remaja merupakan periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Secara umum berkisar antara 12–18 tahun. Dalam perkembangannnya kemudian, WHO (World Health Organization) menetapkan usia 12–21, bahkan hingga 24 tahun --untuk kasus tertentu-- sebagai batasan remaja.
Seorang anak usia 10 tahun mungkin saja mengalami pubertas, namun bukan berarti siap menghadapi dunia orang dewasa. Sebaliknya, ada pula anak perempuan yang telah berusia 16 tahun, namun belum juga mengalami menstruasi, atau perubahan suara pada anak lelaki. Secara fisik memang belum terbentuk, namun secara kognisi dan emosi, bisa saja ia mampu menyelami dunia orang dewasa.
Dalam perkembangannya, situasi ini seringkali membuat mereka menjadi bingung, kadang diperlakukan sebagai anak-anak, di lain waktu dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Itu belum seberapa, karenanya banyak “pergolakan” pada masa transisi itu. Mereka harus melalui proses pematangan fisik maupun mental. Sementara sepanjang proses berjalan ia harus beradaptasi dan melakukan penyesuaian pada perubahan dimensi biologis, kognitif, moral, dan psikologis.
Ya, persoalannya kemudian adalah, apakah mereka mampu mengatasi dan menyikapi peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya mulai dari adanya perubahan bentuk tubuh (fisik), emosi, minat, hingga pola perilaku yang sarat dipengaruhi faktor eksternal, lengkap dengan berbagai permasalahan yang harus
dihadapi. Situasi itulah yang membuat remaja rentan mengalami masalah psikososial (psikis dan kejiwaan).
Itu sebabnya, masa transisi yang lebih familiar disebut sebagai masa remaja ini menjadi sangat rawan terhadap pengaruh lingkungan (internal maupun eksternal) dan persepsi yang sangat menentukan dalam menyongsong masa depan.
TUMBUH KEMBANG
Pubertas bisa diartikan sebagai perubahan biologis yang sangat besar. Tubuh menjadi aktif dalam memproduksi hormon yang berhubungan dengan pertumbuhan, dan merubah sistem biologis seorang anak.
Anak perempuan mendapat menstruasi sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dan seterusnya. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosteron.
Bentuk fisik berubah cepat sejak awal pubertas dan membawa mereka pada dunia remaja. Sudah pasti, hal utama yang bisa dilakukan adalah mendukung tumbuh kembang remaja dengan memberikan asupan gizi dan nutrisi yang memadai untuk memperoleh pertumbuhan fisik yang sempurna, sehat dan proporsional. Orang tua akan menekankan kepada putra putrinya untuk menerapkan pola hidup sehat. Mengatur pola makan yang baik, rutin berolahraga, dan istirahat yang cukup. Namun, seiring meningkatnya produksi hormon di dalam tubuh, biasanya disertai dengan beberapa masalah kesehatan. Paling umum adalah timbulnya jerawat dan penyakit kulit lainnya, seperti scabies, jamuran, dan dermatitis (eksim). Penyakit yang juga sering dijumpai adalah kelainan penglihatan, mata lelah.
Menurut dr. Sengdy C. Chauhari, Sp.M di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, timbulnya penyakit mata lelah pada remaja merupakan bagian dari dampak kemajuan jaman yang mengarahkan mereka untuk melakukan aktifitas jarak dekat berlebihan, salah satunya adalah sering berlama-lama di depan komputer, teve, atau main game.
PENUH GEJOLAK
Hanya saja, persoalan tentu tidak sesederhana itu. Karena, masa remaja adalah masa penuh gejolak. Suasana hati (mood) mereka mudah berubah. Sesaat senang, sesaat kemudian bisa berubah sedih. Menurut pakar psikologi Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson, dari Universitas Chicago, mood unik di kalangan remaja itu terjadi karena mereka mulai merasa memiliki beban. Bisa karena beban pekerjaan di rumah, sekolah, maupun kegiatan lainnya.
Di sisi lainnya, tumbuh rasa percaya diri yang tinggi. Senang mengagumi dan sangat memperhatikan diri sendiri dengan citra yang direfleksikan (self image ). Cenderung menganggap diri mereka unik dan memiliki berbagai kelebihan yang akan membawanya pada kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri betah bersolek di depan cermin, mengagumi diri. Percaya bahwa semua lelaki akan melirik dan tertarik kepadanya. Remaja putra, juga sama, sangat percaya diri dan menganggap bahwa ia akan sangat dikagumi lawan jenisnya, jika terlihat unik dan hebat.
Pada kesempatan lain mereka akan menyadari bahwa anggapan selalu diperhatikan itu ternyata tidak memiliki dasar. Saat itulah mereka berhadapan dengan realita. Suatu situasi dimana mereka tertantang untuk menyesuaikan impian, angan angan dan kenyataan.
RAWAN KONFLIK
Paparan di atas hanyalah sebagian kecil dari fenomena gejolak dan dinamika di kalangan remaja yang rawan konflik. Konflik yang dihadapi semakin kompleks seiring perubahan pada berbagai dimensi kehidupan mereka. Karena itulah, untuk memahami remaja perlu menilik perubahan pada dimensidimensi tersebut. Salah dalam menangani atau menyikapinya, bukan tidak mungkin jika akibatnya bisa menjadi sangat fatal. Sebut saja periode ketika dorongan rasa ingin tahu terhadap berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan internal maupun eksternal, yang bakal menjadi dasar pembentukan nilai diri mereka. Kesalahan dalam memberikan informasi, bisa berdampak pada perilaku negatif remaja. Contoh sederhana, kebiasaan merokok. Informasi dan contoh yang salah dengan mengatakan bahwa merokok adalah wajar, bisa menjadi pemicu remaja untuk mencoba. Sebaliknya, warning keras untuk melarang merokok pun bisa menjadi boomerang, untuk mulai merokok. Jangan lupa, “coba-coba” merupakan salah satu bagian inti periode masa remaja.
PERILAKU NEGATIF
Sebagai hal yang paling patut diwaspadai adalah ketika remaja berada di tengah kondisi labil mental dan spiritual yang terkurung dalam kegalauan, dan berada di lingkungan yang salah, sehingga sangat rentan terpengaruh sebagai penyalahguna narkoba. Karena apapun jenisnya, bisa mengarahkan pada perilaku negatif. Seperti kata dr. Kusman Suriakusumah, Sp.KJ, MPH., di RS Mitra Kemayoran, remaja yang menggunakan narkoba akan terganggu daya nilainya terhadap kehidupan. Kehilangan aktifitas positif, meninggalkan kewajiban sebagai pelajar dan mengganggu proses pendidikan. Bahkan, sampai putus sekolah.
Semantara, bukan rahasia umum lagi jika penggunaan narkoba bisa meningkatkan dorongan seksual yang menimbulkan risiko terjadinya perilaku seksual tidak aman, dan berakibat pada tingginya faktor risiko terhadap penyakit kelamin.
Itu sebabnya, remaja pengguna narkoba atau zatzat adiktif lain, biasanya lebih berisiko terjerumus pada perilaku seks bebas. Padahal, tanpa mereka sadari, seks bebas di kalangan remaja, atau pernikahan dini yang harus terjadi memiliki potensi menimbulkan penyakit kelamin seperti GO-gonorhoe, herpes simpleks dan AIDS(HIV).
Halini terjadi karena adanya faktor psiko stimulant yang menimbulkan kecenderungan berperilaku seks bebas di kalangan remaja penyalahguna narkoba. “Ketidaktahuan remaja tentang informasi kesehatan reproduksi dapat mengakibatkan penyakit kelamin tersebut tidak kunjung sembuh. Karena, jika salah satu terkena, maka pasangannya otomatis juga harus memperoleh pengobatan (phenomena pingpong),” ucap dokter spesialis kulit dan kelamin RS Mitra Keluarga Bekasi Timur, Vonny Indriati Sp.KK.
Bagi remaja putri, seks pranikah, apalagi perilaku seks bebas dan berganti-ganti pasangan memiliki potensi tinggi terhadap risiko terkena kanker serviks (kanker leher rahim). “Sel-sel SCJ pada remaja sangat aktif dan sangat sensitif terhadap paparan. Sehingga bila pada usia remaja sudah melakukan hubungan seks, maka risiko menderita kanker leher rahim dikemudian hari akan lebih tinggi,” timpal dr. Nancy Liona Agusdin, Sp.OG.
Selanjutnya, kata dokter spesialis obstetri dan ginekologi (Obsgyn) di RS Mitra Keluarga Cikarang itu, squamocolumnarjunction (SCJ) adalah bagian dari serviks uteri yang merupakan peralihan dari epitel skuamosa ke epitel kolumnar. Bagian inilah yang apabila terinfeksi HPV akan berkembang menjadi kanker serviks.
Selain rawan membawa risiko HIV/AIDS, perilaku negatif di kalangan remaja juga membuka peluang pada terjadinya kehamilan dini. Peristiwa yang tidak diharapkan ini berpotensi menimbulkan beban psikologis yang menyebabkan depresi. Pada tingkat yang cukup berat, konon sering memicu terjadinya peristiwa bunuh diri.
IMUNISASI
Pasti. Bagaimanapun prosesnya, pemicu dari perilaku negatif remaja umumnya dimulai dari fenomena coba coba sebagai penyalahguna narkoba, yang berujung pada rusaknya hampir seluruh sendi kehidupan dan masa depan mereka. Tak heran jika hingga saat ini, peredaran narkoba diartikan juga sebagai penjajahan bagi generasi muda. Karena itulah, remaja dengan segudang aktivitas dan rasa ingin tahu yang tinggi, harus pandai memilih teman dan memilah-milah lingkungan pergaulan. Lingkungan dan teman memiliki pengaruh kuat dalam mewarnai perilaku, gaya hidup, kebiasaan, dan cara berpikir remaja. Pada kesempatan lain, dibutuhkan perhatian dan pemahaman yang baik dari orang tua terhadap dimensi masa remaja yang terbilang rumit.
Pada prinsipnya, seperti kata dr. Kusman, diperlukan “imunisasi” terkait pengetahuan tentang bahaya narkoba, di kalangan remaja. Mereka juga harus dibimbing ke arah pola hidup sehat, melalui program Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), yang berkesinambungan. Itulah yang dimaksud dengan immune --bekal kekebalan terhadap bahaya narkoba-- di kalangan remaja yang sebenarnya.
Masa remaja merupakan periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Secara umum berkisar antara 12–18 tahun. Dalam perkembangannnya kemudian, WHO (World Health Organization) menetapkan usia 12–21, bahkan hingga 24 tahun --untuk kasus tertentu-- sebagai batasan remaja.
Seorang anak usia 10 tahun mungkin saja mengalami pubertas, namun bukan berarti siap menghadapi dunia orang dewasa. Sebaliknya, ada pula anak perempuan yang telah berusia 16 tahun, namun belum juga mengalami menstruasi, atau perubahan suara pada anak lelaki. Secara fisik memang belum terbentuk, namun secara kognisi dan emosi, bisa saja ia mampu menyelami dunia orang dewasa.
Dalam perkembangannya, situasi ini seringkali membuat mereka menjadi bingung, kadang diperlakukan sebagai anak-anak, di lain waktu dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Itu belum seberapa, karenanya banyak “pergolakan” pada masa transisi itu. Mereka harus melalui proses pematangan fisik maupun mental. Sementara sepanjang proses berjalan ia harus beradaptasi dan melakukan penyesuaian pada perubahan dimensi biologis, kognitif, moral, dan psikologis.
Ya, persoalannya kemudian adalah, apakah mereka mampu mengatasi dan menyikapi peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya mulai dari adanya perubahan bentuk tubuh (fisik), emosi, minat, hingga pola perilaku yang sarat dipengaruhi faktor eksternal, lengkap dengan berbagai permasalahan yang harus
dihadapi. Situasi itulah yang membuat remaja rentan mengalami masalah psikososial (psikis dan kejiwaan).
Itu sebabnya, masa transisi yang lebih familiar disebut sebagai masa remaja ini menjadi sangat rawan terhadap pengaruh lingkungan (internal maupun eksternal) dan persepsi yang sangat menentukan dalam menyongsong masa depan.
TUMBUH KEMBANG
Pubertas bisa diartikan sebagai perubahan biologis yang sangat besar. Tubuh menjadi aktif dalam memproduksi hormon yang berhubungan dengan pertumbuhan, dan merubah sistem biologis seorang anak.
Anak perempuan mendapat menstruasi sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dan seterusnya. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosteron.
Bentuk fisik berubah cepat sejak awal pubertas dan membawa mereka pada dunia remaja. Sudah pasti, hal utama yang bisa dilakukan adalah mendukung tumbuh kembang remaja dengan memberikan asupan gizi dan nutrisi yang memadai untuk memperoleh pertumbuhan fisik yang sempurna, sehat dan proporsional. Orang tua akan menekankan kepada putra putrinya untuk menerapkan pola hidup sehat. Mengatur pola makan yang baik, rutin berolahraga, dan istirahat yang cukup. Namun, seiring meningkatnya produksi hormon di dalam tubuh, biasanya disertai dengan beberapa masalah kesehatan. Paling umum adalah timbulnya jerawat dan penyakit kulit lainnya, seperti scabies, jamuran, dan dermatitis (eksim). Penyakit yang juga sering dijumpai adalah kelainan penglihatan, mata lelah.
Menurut dr. Sengdy C. Chauhari, Sp.M di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, timbulnya penyakit mata lelah pada remaja merupakan bagian dari dampak kemajuan jaman yang mengarahkan mereka untuk melakukan aktifitas jarak dekat berlebihan, salah satunya adalah sering berlama-lama di depan komputer, teve, atau main game.
PENUH GEJOLAK
Hanya saja, persoalan tentu tidak sesederhana itu. Karena, masa remaja adalah masa penuh gejolak. Suasana hati (mood) mereka mudah berubah. Sesaat senang, sesaat kemudian bisa berubah sedih. Menurut pakar psikologi Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson, dari Universitas Chicago, mood unik di kalangan remaja itu terjadi karena mereka mulai merasa memiliki beban. Bisa karena beban pekerjaan di rumah, sekolah, maupun kegiatan lainnya.
Di sisi lainnya, tumbuh rasa percaya diri yang tinggi. Senang mengagumi dan sangat memperhatikan diri sendiri dengan citra yang direfleksikan (self image ). Cenderung menganggap diri mereka unik dan memiliki berbagai kelebihan yang akan membawanya pada kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri betah bersolek di depan cermin, mengagumi diri. Percaya bahwa semua lelaki akan melirik dan tertarik kepadanya. Remaja putra, juga sama, sangat percaya diri dan menganggap bahwa ia akan sangat dikagumi lawan jenisnya, jika terlihat unik dan hebat.
Pada kesempatan lain mereka akan menyadari bahwa anggapan selalu diperhatikan itu ternyata tidak memiliki dasar. Saat itulah mereka berhadapan dengan realita. Suatu situasi dimana mereka tertantang untuk menyesuaikan impian, angan angan dan kenyataan.
RAWAN KONFLIK
Paparan di atas hanyalah sebagian kecil dari fenomena gejolak dan dinamika di kalangan remaja yang rawan konflik. Konflik yang dihadapi semakin kompleks seiring perubahan pada berbagai dimensi kehidupan mereka. Karena itulah, untuk memahami remaja perlu menilik perubahan pada dimensidimensi tersebut. Salah dalam menangani atau menyikapinya, bukan tidak mungkin jika akibatnya bisa menjadi sangat fatal. Sebut saja periode ketika dorongan rasa ingin tahu terhadap berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan internal maupun eksternal, yang bakal menjadi dasar pembentukan nilai diri mereka. Kesalahan dalam memberikan informasi, bisa berdampak pada perilaku negatif remaja. Contoh sederhana, kebiasaan merokok. Informasi dan contoh yang salah dengan mengatakan bahwa merokok adalah wajar, bisa menjadi pemicu remaja untuk mencoba. Sebaliknya, warning keras untuk melarang merokok pun bisa menjadi boomerang, untuk mulai merokok. Jangan lupa, “coba-coba” merupakan salah satu bagian inti periode masa remaja.
PERILAKU NEGATIF
Sebagai hal yang paling patut diwaspadai adalah ketika remaja berada di tengah kondisi labil mental dan spiritual yang terkurung dalam kegalauan, dan berada di lingkungan yang salah, sehingga sangat rentan terpengaruh sebagai penyalahguna narkoba. Karena apapun jenisnya, bisa mengarahkan pada perilaku negatif. Seperti kata dr. Kusman Suriakusumah, Sp.KJ, MPH., di RS Mitra Kemayoran, remaja yang menggunakan narkoba akan terganggu daya nilainya terhadap kehidupan. Kehilangan aktifitas positif, meninggalkan kewajiban sebagai pelajar dan mengganggu proses pendidikan. Bahkan, sampai putus sekolah.
Semantara, bukan rahasia umum lagi jika penggunaan narkoba bisa meningkatkan dorongan seksual yang menimbulkan risiko terjadinya perilaku seksual tidak aman, dan berakibat pada tingginya faktor risiko terhadap penyakit kelamin.
Itu sebabnya, remaja pengguna narkoba atau zatzat adiktif lain, biasanya lebih berisiko terjerumus pada perilaku seks bebas. Padahal, tanpa mereka sadari, seks bebas di kalangan remaja, atau pernikahan dini yang harus terjadi memiliki potensi menimbulkan penyakit kelamin seperti GO-gonorhoe, herpes simpleks dan AIDS(HIV).
Halini terjadi karena adanya faktor psiko stimulant yang menimbulkan kecenderungan berperilaku seks bebas di kalangan remaja penyalahguna narkoba. “Ketidaktahuan remaja tentang informasi kesehatan reproduksi dapat mengakibatkan penyakit kelamin tersebut tidak kunjung sembuh. Karena, jika salah satu terkena, maka pasangannya otomatis juga harus memperoleh pengobatan (phenomena pingpong),” ucap dokter spesialis kulit dan kelamin RS Mitra Keluarga Bekasi Timur, Vonny Indriati Sp.KK.
Bagi remaja putri, seks pranikah, apalagi perilaku seks bebas dan berganti-ganti pasangan memiliki potensi tinggi terhadap risiko terkena kanker serviks (kanker leher rahim). “Sel-sel SCJ pada remaja sangat aktif dan sangat sensitif terhadap paparan. Sehingga bila pada usia remaja sudah melakukan hubungan seks, maka risiko menderita kanker leher rahim dikemudian hari akan lebih tinggi,” timpal dr. Nancy Liona Agusdin, Sp.OG.
Selanjutnya, kata dokter spesialis obstetri dan ginekologi (Obsgyn) di RS Mitra Keluarga Cikarang itu, squamocolumnarjunction (SCJ) adalah bagian dari serviks uteri yang merupakan peralihan dari epitel skuamosa ke epitel kolumnar. Bagian inilah yang apabila terinfeksi HPV akan berkembang menjadi kanker serviks.
Selain rawan membawa risiko HIV/AIDS, perilaku negatif di kalangan remaja juga membuka peluang pada terjadinya kehamilan dini. Peristiwa yang tidak diharapkan ini berpotensi menimbulkan beban psikologis yang menyebabkan depresi. Pada tingkat yang cukup berat, konon sering memicu terjadinya peristiwa bunuh diri.
IMUNISASI
Pasti. Bagaimanapun prosesnya, pemicu dari perilaku negatif remaja umumnya dimulai dari fenomena coba coba sebagai penyalahguna narkoba, yang berujung pada rusaknya hampir seluruh sendi kehidupan dan masa depan mereka. Tak heran jika hingga saat ini, peredaran narkoba diartikan juga sebagai penjajahan bagi generasi muda. Karena itulah, remaja dengan segudang aktivitas dan rasa ingin tahu yang tinggi, harus pandai memilih teman dan memilah-milah lingkungan pergaulan. Lingkungan dan teman memiliki pengaruh kuat dalam mewarnai perilaku, gaya hidup, kebiasaan, dan cara berpikir remaja. Pada kesempatan lain, dibutuhkan perhatian dan pemahaman yang baik dari orang tua terhadap dimensi masa remaja yang terbilang rumit.
Pada prinsipnya, seperti kata dr. Kusman, diperlukan “imunisasi” terkait pengetahuan tentang bahaya narkoba, di kalangan remaja. Mereka juga harus dibimbing ke arah pola hidup sehat, melalui program Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), yang berkesinambungan. Itulah yang dimaksud dengan immune --bekal kekebalan terhadap bahaya narkoba-- di kalangan remaja yang sebenarnya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih sudah meluangkan waktu anda untuk memberikan komentar :)