Ada banyak nama penyakit yang cukup akrab dan sering kali terdengar di telinga. Sebut saja penyakit jantung, liver, ginjal, paru-paru, diabetes mellitus, hipertensi, hepatitis, kanker, dan lainnya. Semua itu termasuk kategori penyakit dalam yang banyak menyerang usia produktif. Disebut penyakit dalam karena
terkait erat dengan organ tubuh yang membentuk sistem kerjasama dan melakukan fungsi saling terkait, lebih kompleks yang berlangsung secara simultan. Ketika salah satu organ tidak lagi berfungsi dengan baik, maka akan membawa dampak pada kinerja organ-organ lainnya. Ambil contoh, terjadinya kebocoran glomerulus (saringan) pada ginjal yang disebabkan oleh intervensi penyakit diabetes mellitus (DM), hipertensi, Lupus Eritematosus Sistemik (LES), HIV, Hepatitis, dan lainnya.
Sistem Imun
Bahkan penyakit jantung koroner yang selama ini “seolah dimonopoli“ kalangan berumur pun banyak menyerang angkatan muda yang masih sangat produktif. Begitu pula dengan penyakit yang berhubungan dengan autoimun. Akhir-akhir ini dikabarkan banyak menyerang usia produktif. Autoimun merupakan terjadinya gangguan pada sistem imun dan membuat tubuh seseorang menghasilkan antibodi yang merusak sistem kekebalan tubuh akibat proses inflamasi ketika antibodi tersebut tidak lagi mengenal zat antigen di dalam tubuh.
Kondisi ini akan menggerogoti daya tahan tubuh penderitanya, dan mengakibatkan kerusakan pada organ-organ tertentu. (baca hal 20-Imunologi: Ketika Antibodi Tak Bekerja Semestinya). Sebut saja daya tahan tubuh yang tergerus pada penderita HIV, TBC, hepatitis, dan penyakit kronis lainnya, hingga autoimun yang bersifat sangat tidak aktif seperti pada penderita penyakit lupus dan alergi.
Lupus
Penyakit yang sangat rentan terhadap infeksi yang akan memperberat kondisi penderita ini, banyak menyerang pria dan wanita di usia produktif. “Namun, cenderung pada wanita dengan perbandingan 9:1,” kata dr. Nanang Sukmana, Sp.PD. KAI., di ruang praktiknya, RS Mitra Kemayoran. Berbahaya atau tidaknya Lupus, tegantung pada saat gejala awal ditemukan. Jika diketahui dini, maka memiliki peluang untuk
ditangani secara baik. Peliknya, tanda awal penyakit lupus seringkali sukar ditemui, bahkan mirip dengan gejala penyakit ringan (biasa). Itu sebabnya, kebanyakan penderita baru diketahui setelah dalam keadaan terlanjur,” jelasnya. Di sisi lain, kejadiannya tidak diketahui karena bukan penyakit turunan. Penyebarannya tidak melalui genektikal dan tidak diturunkan. Kalaupun ada, biasanya terjadi secara kebetulan saja. Genektikal vektornya secara bersamaan terkena. Namun, literatur menyebutkan faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit lupus adalah genektikal, hormonal, dan lingkungan.
Jadi, sambungnya, lupus sebenarnya bukan penyakit langka seperti dugaan selama ini. “Di masa lalu, penyakit lupus jarang ditemukan karena pemeriksaan secara lengkap untuk mendiagnosa penyakit ini belum tersedia. Saat ini, di beberapa pemeriksaan telah mampu mendeteksi gejala awal penyakit lupus secara lebih dini,” ungkapnya.
Melalui beberapa pemeriksaan terhadap tanda-tanda awal lupus yang patut dicurigai, diantaranya terlihat pada suhu tinggi berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya, rambut mulai rontok, seluruh badan terasa pegal pegal, muncul sariawan yang sulit sembuh, hingga kondisi fisik yang semakin lemah. Meski begitu, Odipus (orang yang hidup dengan lupus odipus) --begitu penderita lupus biasa disebut-- tetap dapat hidup seperti layaknya orang normal. Namun, harus berada di bawah pengawasan secara menyeluruh. Itupun bukan berarti dapat disembuhkan, tetapi agar terkontrol dan rutin menerapkan terapi obat telan atau suntik seumur hidup, seperti pada penderita diabetes.
Itulah peliknya beberapa penyakit dalam yang sangat merugikan kualitas kesehatan, terutama pada usia produktif. Penyebabnya macam-macam. Ada yang karena faktor keturunan (genetika) seperti diabetes mellitus, dan non genetika atau akibat faktor eksternal, seperti lupus. Ada yang hadir dengan gejala dan ada yang tidak. Yang paling celaka, mirip penyakit biasa sehingga sulit terdeteksi, seperti sering terjadi pada penyakit akibat virus hepatitis yang bisa merusak organ vital, hati/liver.
Hepatitis
Ya, hepatitis adalah penyakit radang hati yang disebabkan oleh virus. Penyakit hepatitis disebut seperti nama masing-masing jenis virus yang menggunakan huruf abjad, mulai dari hepatitis A, B C, D, E, G, dan TT. Jenis virus hepatitis A, B, dan C merupakan jenis yang paling banyak menyerang manusia, terutama usia produktif. Menurut dr. M. Arief Setiawan, Sp.PD, hepatitis A dan E merupakan penyakit dengan distribusi global— yang erat kaitannya dengan standar sanitasi/kesehatan suatu daerah. Penyebarannya berlangsung dari orang ke orang (faecal oral), melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A atau E.
Memang, kedua virus tersebut hampir tidak pernah menimbulkan hepatitis kronik. Bisa sembuh sempurna, namun memerlukan waktu antara 4-6 bulan, atau setelah memperoleh tes faal hati yang menjadi normal. “Faktor ini, akan menyebabkan kerugian dalam hal kehilangan produktifitas kerja. Di sisi lain, membutuhkan biaya perawatan yang cukup tinggi,” ungkapnya, seraya menambahkan, bila dilakukan analisa manfaat biaya, tentu saja akan lebih ekonomis kalau dilakukan suatu usaha pencegahan. “Salah satunya ialah dengan menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan yang berhubungan dengan penyajian makanan. Bahkan, diperlukan melakukan imunisasi, baik pada anak-anak maupun dewasa,” timpal dr. Tri Sutowo, Sp.PD yang berpraktik di RSMK Bekasi Timur.
Berbeda dengan virus A dan E, jenis infeksi virus hepatitis B (VHB) dengan prevalensi yang tinggi dan komplikasinya, masih menjadi masalah besar di Indonesia. Meski begitu, kata dr. Arief, hepatitis B akut bisa sembuh sempurna pada 90% kasus, sedangkan pada hepatitis kronik, prognosis untuk hilangnya virus amat sukar. “Pada hepatitis C lebih dari 40% akan berlanjut menjadi kronik. Sebagian memiliki peluang untuk berkembang menjadi sirosis hati (menciut dan mengeras). Hal ini merupakan tahap akhir dari perjalanan penyakit hati kronik (hepa- titis),” papar dr. M. Arief Setiawan, Sp.PD, di ruang praktiknya, RSMK Depok ini, seraya menambahkan, karena dalam lima tahun selanjutnya bisa berkembang menjadi kanker hati (hepatoma), dan menjadi kajian bidang hematologi– onkologi. Faktor-faktor yang terkait erat (kuat) dengan terjadinya infeksi HCV adalah penggunaan narkoba suntik (injection drug use, IDU), dan perilaku seksual risiko tinggi. Rumitnya, infeksi HCV sangat jarang terdiagnosis pada saat infeksi fase akut. Pada sebagian besar penderita umumnya tidak menunjukkan gejala.
“Kalaupun ada, biasanya hanya menunjukkan gejala ringan yang disebut jaundice, malaise, dan nausea. Bahkan, ketika infeksi telah berkembang menjadi kronik pun pada sebagian besar penderita tetap tanpa gejala. Ini menyebabkan sulitnya menilai perjalanan alamiah infeksi HCV,” ujarnya, lagi.
Ironisnya, data tentang efikasi terapi antivirus untuk hepatitis C akut masih sangat terbatas, namun pemberian terapi ditujukan untuk mencegah terjadinya persistensi infeksi virus, yang dapat memicu terjadinya inflamasi hati kronik, dan statusnya berubah menjadi hepatitis autoimun.
Itu tadi, imbuhnya, inflamasi yang merupakan akibat dari zat antibodi di dalam tubuh tidak lagi mengenal antigen yang diproduksi dan menyebabkan kerusakan organ dan fungsi hati. “Kerusakan itu terjadi akibat proses inflamasi dari antibodi dan antigen di dalam tubuh penderita, maka status penyakitnya menjadi hepatitis autoimun. Bukan lagi hepatitis A, B, C, dan seterusnya,” sergah dr. Nanang Sukmana, Sp.PD KAI. Sudah pasti, upaya pencegahan merupakan hal terpenting. Secara garis besar, upaya pencegahan penyakit hepatitis terbagi menjadi upaya yang bersifat umum, dan upaya lebih spesifik dengan melakukan imunisasi VHB. “Sayangnya, vaksin untuk hepatitis A dan B memang sudah tersedia, tetapi belum ada vaksin untuk hepatitis C,” timpal dr. Tri Sutowo. Bahkan, belum ada obat yang betul-betul manjur dan bisa menyembuhkan hepatitis kronik. Umumnya, hanya untuk menahan laju perkembangbiakan virus dan meningkatkan daya tahan tubuh. Memang, meski tidak mematikan virus secara langsung, obat-obatan tersebut sangat bermanfaat dalam menghambat laju kerusakan sel-sel hati, sehingga diharapkan dapat mencegah sirosis hati, kanker hati, dan kematian.
Menurut dr. Tri Sutowo, penularan hepatitis C kepada orang serumah jarang terjadi. Bahkan tidak menular melalui jabat tangan, berpelukan atau berciuman, batuk atau bersin, maupun peralatan makan dan minum,” urainya. Upaya Pencegahan Memang, yang paling berbahaya adalah kanker, serangan jantung koroner, ganguan ginjal, liver, hipertensi, autoimun, hingga gangguan janin pada ibu hamil.
Apalagi, ancaman penyakit yang bisa merongrong kualitas kesehatan manusia itu bisa menyerang siapa saja, termasuk usia
produktif.
Namun, semua penyakit itu sebenarnya bisa dicegah. Paling tidak, diantisipasi agar tidak ambil bagian di dalam tubuh manusia. Terutama jika mengingat bahwa usia produktif merupakan suatu masa dimana hidup sangat dinamis, energik dan penuh kreatifitas. Itu sebabnya, penting untuk dipahami bahwa siapapun dan dimanapun Anda berada, tentu tidak bisa menjamin akan selalu bersih, dalam arti bebas dari sumber– sumber penyakit, seperti virus, bakteri, protozoa, jamur, dan sebagainya. Sementara, semua sumber penyakit itu berada sangat dekat dengan Anda. Hampir semua lingkungan di manapun Anda berada. Di sisi lain, pola makan dan gaya hidup bebas dan tidak sehat juga patut menjadi perhatian. Begitupula dengan higienitas yang terjaga dan perlunya pemeriksaan kesehatan, health screening secara tertib, hingga melakukan vaksinasi dewasa. Karena, yang paling penting adalah menjalankan gaya hidup sehat sedari muda. Mulai dari tidak merokok, menghindari makanan cepat saji, tidak minum alkohol secara berlebihan, tidak stres, dan rutin melakukan olahraga secara teratur. Dengan semua upaya itu, diharapkan Anda dapat terhindar dari serangan penyakitpenyakit yang disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat. Seperti kata pepatah, pencegahan adalah lebih baik daripada pengobatan.
terkait erat dengan organ tubuh yang membentuk sistem kerjasama dan melakukan fungsi saling terkait, lebih kompleks yang berlangsung secara simultan. Ketika salah satu organ tidak lagi berfungsi dengan baik, maka akan membawa dampak pada kinerja organ-organ lainnya. Ambil contoh, terjadinya kebocoran glomerulus (saringan) pada ginjal yang disebabkan oleh intervensi penyakit diabetes mellitus (DM), hipertensi, Lupus Eritematosus Sistemik (LES), HIV, Hepatitis, dan lainnya.
Sistem Imun
Bahkan penyakit jantung koroner yang selama ini “seolah dimonopoli“ kalangan berumur pun banyak menyerang angkatan muda yang masih sangat produktif. Begitu pula dengan penyakit yang berhubungan dengan autoimun. Akhir-akhir ini dikabarkan banyak menyerang usia produktif. Autoimun merupakan terjadinya gangguan pada sistem imun dan membuat tubuh seseorang menghasilkan antibodi yang merusak sistem kekebalan tubuh akibat proses inflamasi ketika antibodi tersebut tidak lagi mengenal zat antigen di dalam tubuh.
Kondisi ini akan menggerogoti daya tahan tubuh penderitanya, dan mengakibatkan kerusakan pada organ-organ tertentu. (baca hal 20-Imunologi: Ketika Antibodi Tak Bekerja Semestinya). Sebut saja daya tahan tubuh yang tergerus pada penderita HIV, TBC, hepatitis, dan penyakit kronis lainnya, hingga autoimun yang bersifat sangat tidak aktif seperti pada penderita penyakit lupus dan alergi.
Lupus
Penyakit yang sangat rentan terhadap infeksi yang akan memperberat kondisi penderita ini, banyak menyerang pria dan wanita di usia produktif. “Namun, cenderung pada wanita dengan perbandingan 9:1,” kata dr. Nanang Sukmana, Sp.PD. KAI., di ruang praktiknya, RS Mitra Kemayoran. Berbahaya atau tidaknya Lupus, tegantung pada saat gejala awal ditemukan. Jika diketahui dini, maka memiliki peluang untuk
ditangani secara baik. Peliknya, tanda awal penyakit lupus seringkali sukar ditemui, bahkan mirip dengan gejala penyakit ringan (biasa). Itu sebabnya, kebanyakan penderita baru diketahui setelah dalam keadaan terlanjur,” jelasnya. Di sisi lain, kejadiannya tidak diketahui karena bukan penyakit turunan. Penyebarannya tidak melalui genektikal dan tidak diturunkan. Kalaupun ada, biasanya terjadi secara kebetulan saja. Genektikal vektornya secara bersamaan terkena. Namun, literatur menyebutkan faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit lupus adalah genektikal, hormonal, dan lingkungan.
Jadi, sambungnya, lupus sebenarnya bukan penyakit langka seperti dugaan selama ini. “Di masa lalu, penyakit lupus jarang ditemukan karena pemeriksaan secara lengkap untuk mendiagnosa penyakit ini belum tersedia. Saat ini, di beberapa pemeriksaan telah mampu mendeteksi gejala awal penyakit lupus secara lebih dini,” ungkapnya.
Melalui beberapa pemeriksaan terhadap tanda-tanda awal lupus yang patut dicurigai, diantaranya terlihat pada suhu tinggi berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya, rambut mulai rontok, seluruh badan terasa pegal pegal, muncul sariawan yang sulit sembuh, hingga kondisi fisik yang semakin lemah. Meski begitu, Odipus (orang yang hidup dengan lupus odipus) --begitu penderita lupus biasa disebut-- tetap dapat hidup seperti layaknya orang normal. Namun, harus berada di bawah pengawasan secara menyeluruh. Itupun bukan berarti dapat disembuhkan, tetapi agar terkontrol dan rutin menerapkan terapi obat telan atau suntik seumur hidup, seperti pada penderita diabetes.
Itulah peliknya beberapa penyakit dalam yang sangat merugikan kualitas kesehatan, terutama pada usia produktif. Penyebabnya macam-macam. Ada yang karena faktor keturunan (genetika) seperti diabetes mellitus, dan non genetika atau akibat faktor eksternal, seperti lupus. Ada yang hadir dengan gejala dan ada yang tidak. Yang paling celaka, mirip penyakit biasa sehingga sulit terdeteksi, seperti sering terjadi pada penyakit akibat virus hepatitis yang bisa merusak organ vital, hati/liver.
Hepatitis
Ya, hepatitis adalah penyakit radang hati yang disebabkan oleh virus. Penyakit hepatitis disebut seperti nama masing-masing jenis virus yang menggunakan huruf abjad, mulai dari hepatitis A, B C, D, E, G, dan TT. Jenis virus hepatitis A, B, dan C merupakan jenis yang paling banyak menyerang manusia, terutama usia produktif. Menurut dr. M. Arief Setiawan, Sp.PD, hepatitis A dan E merupakan penyakit dengan distribusi global— yang erat kaitannya dengan standar sanitasi/kesehatan suatu daerah. Penyebarannya berlangsung dari orang ke orang (faecal oral), melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A atau E.
Memang, kedua virus tersebut hampir tidak pernah menimbulkan hepatitis kronik. Bisa sembuh sempurna, namun memerlukan waktu antara 4-6 bulan, atau setelah memperoleh tes faal hati yang menjadi normal. “Faktor ini, akan menyebabkan kerugian dalam hal kehilangan produktifitas kerja. Di sisi lain, membutuhkan biaya perawatan yang cukup tinggi,” ungkapnya, seraya menambahkan, bila dilakukan analisa manfaat biaya, tentu saja akan lebih ekonomis kalau dilakukan suatu usaha pencegahan. “Salah satunya ialah dengan menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan yang berhubungan dengan penyajian makanan. Bahkan, diperlukan melakukan imunisasi, baik pada anak-anak maupun dewasa,” timpal dr. Tri Sutowo, Sp.PD yang berpraktik di RSMK Bekasi Timur.
Berbeda dengan virus A dan E, jenis infeksi virus hepatitis B (VHB) dengan prevalensi yang tinggi dan komplikasinya, masih menjadi masalah besar di Indonesia. Meski begitu, kata dr. Arief, hepatitis B akut bisa sembuh sempurna pada 90% kasus, sedangkan pada hepatitis kronik, prognosis untuk hilangnya virus amat sukar. “Pada hepatitis C lebih dari 40% akan berlanjut menjadi kronik. Sebagian memiliki peluang untuk berkembang menjadi sirosis hati (menciut dan mengeras). Hal ini merupakan tahap akhir dari perjalanan penyakit hati kronik (hepa- titis),” papar dr. M. Arief Setiawan, Sp.PD, di ruang praktiknya, RSMK Depok ini, seraya menambahkan, karena dalam lima tahun selanjutnya bisa berkembang menjadi kanker hati (hepatoma), dan menjadi kajian bidang hematologi– onkologi. Faktor-faktor yang terkait erat (kuat) dengan terjadinya infeksi HCV adalah penggunaan narkoba suntik (injection drug use, IDU), dan perilaku seksual risiko tinggi. Rumitnya, infeksi HCV sangat jarang terdiagnosis pada saat infeksi fase akut. Pada sebagian besar penderita umumnya tidak menunjukkan gejala.
“Kalaupun ada, biasanya hanya menunjukkan gejala ringan yang disebut jaundice, malaise, dan nausea. Bahkan, ketika infeksi telah berkembang menjadi kronik pun pada sebagian besar penderita tetap tanpa gejala. Ini menyebabkan sulitnya menilai perjalanan alamiah infeksi HCV,” ujarnya, lagi.
Ironisnya, data tentang efikasi terapi antivirus untuk hepatitis C akut masih sangat terbatas, namun pemberian terapi ditujukan untuk mencegah terjadinya persistensi infeksi virus, yang dapat memicu terjadinya inflamasi hati kronik, dan statusnya berubah menjadi hepatitis autoimun.
Itu tadi, imbuhnya, inflamasi yang merupakan akibat dari zat antibodi di dalam tubuh tidak lagi mengenal antigen yang diproduksi dan menyebabkan kerusakan organ dan fungsi hati. “Kerusakan itu terjadi akibat proses inflamasi dari antibodi dan antigen di dalam tubuh penderita, maka status penyakitnya menjadi hepatitis autoimun. Bukan lagi hepatitis A, B, C, dan seterusnya,” sergah dr. Nanang Sukmana, Sp.PD KAI. Sudah pasti, upaya pencegahan merupakan hal terpenting. Secara garis besar, upaya pencegahan penyakit hepatitis terbagi menjadi upaya yang bersifat umum, dan upaya lebih spesifik dengan melakukan imunisasi VHB. “Sayangnya, vaksin untuk hepatitis A dan B memang sudah tersedia, tetapi belum ada vaksin untuk hepatitis C,” timpal dr. Tri Sutowo. Bahkan, belum ada obat yang betul-betul manjur dan bisa menyembuhkan hepatitis kronik. Umumnya, hanya untuk menahan laju perkembangbiakan virus dan meningkatkan daya tahan tubuh. Memang, meski tidak mematikan virus secara langsung, obat-obatan tersebut sangat bermanfaat dalam menghambat laju kerusakan sel-sel hati, sehingga diharapkan dapat mencegah sirosis hati, kanker hati, dan kematian.
Menurut dr. Tri Sutowo, penularan hepatitis C kepada orang serumah jarang terjadi. Bahkan tidak menular melalui jabat tangan, berpelukan atau berciuman, batuk atau bersin, maupun peralatan makan dan minum,” urainya. Upaya Pencegahan Memang, yang paling berbahaya adalah kanker, serangan jantung koroner, ganguan ginjal, liver, hipertensi, autoimun, hingga gangguan janin pada ibu hamil.
Apalagi, ancaman penyakit yang bisa merongrong kualitas kesehatan manusia itu bisa menyerang siapa saja, termasuk usia
produktif.
Namun, semua penyakit itu sebenarnya bisa dicegah. Paling tidak, diantisipasi agar tidak ambil bagian di dalam tubuh manusia. Terutama jika mengingat bahwa usia produktif merupakan suatu masa dimana hidup sangat dinamis, energik dan penuh kreatifitas. Itu sebabnya, penting untuk dipahami bahwa siapapun dan dimanapun Anda berada, tentu tidak bisa menjamin akan selalu bersih, dalam arti bebas dari sumber– sumber penyakit, seperti virus, bakteri, protozoa, jamur, dan sebagainya. Sementara, semua sumber penyakit itu berada sangat dekat dengan Anda. Hampir semua lingkungan di manapun Anda berada. Di sisi lain, pola makan dan gaya hidup bebas dan tidak sehat juga patut menjadi perhatian. Begitupula dengan higienitas yang terjaga dan perlunya pemeriksaan kesehatan, health screening secara tertib, hingga melakukan vaksinasi dewasa. Karena, yang paling penting adalah menjalankan gaya hidup sehat sedari muda. Mulai dari tidak merokok, menghindari makanan cepat saji, tidak minum alkohol secara berlebihan, tidak stres, dan rutin melakukan olahraga secara teratur. Dengan semua upaya itu, diharapkan Anda dapat terhindar dari serangan penyakitpenyakit yang disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat. Seperti kata pepatah, pencegahan adalah lebih baik daripada pengobatan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih sudah meluangkan waktu anda untuk memberikan komentar :)